IBADAH HAJI
DAN PRESTISE MASYARAKAT
NURULITA
INDRIANI
28211221
3EB10
November 2013 ini, ribuan umat Islam Indonesia akan
menunaikan ibadah haji, sebagian jemaah telah terbang ke kota Makah
al-Mukaromah dan Madinah al-Munawaroh di Saudi Arabia, diterbangkan dari
beberapa embarkasi haji di tanah air. Bagaimana sebenarnya kewajiban haji dalam
konteks Islam ?
Berbeda dengan ibadah sholat, puasa dan zakat, maka ibadah haji menuntut kemampuan bagi pelakunya baik fisik maupun ekonomi. Ibadah haji, wajib bagi umat Islam, bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menjalankan, Qur'an menegaskan hal tersebut, bahwa ibadah haji, wajib bagi mereka yang sanggup melakukannya. Diperlukan kekuatan fisik dan kemampuan ekonomi untuk menjalankan ibadah haji.
Ada sisi menarik yang perlu dicermati perihal ibadah haji yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Bahkan, perlu ada koreksi untuk mengubah paradigma umat Muslim tenang ibadah haji.
Ibadah haji, sebagimana ibadah lainnya, selain menuntut kesiapan fisik, juga kesiapan rohani. Sebagimana ibadah lainnya, Islam menuntut umatnya dalam melakukan ibadah didasarkan oleh keikhlasan hati. Sebab, sebagaimana pesan Nabi SAW, "sifat riya ( pamer hati ) dalam beribadah, bagikan api yang membakar kayu bakar kering". Sementara yang terjadi di Indonesia, sudah menjadi rahasia, jika ibadah haji juga berdimensi sebagai sebuah prestise ( kebanggan ) hidup. Tentu, tidak semua umat Islam seperti demikian. Tetapi, tidak dipungkiri, banyak cerita di masyarakat, bagaimana seorang Muslim yang telah menunaikan ibadah haji, kerap menambah huruf H atau Hj didepan namanya. Walau hal ini, belum tentu memiliki kaitan dengan sifat riya, tetapi tentu menjadi sebuah pertanyaan. Apalagi, tidak dipungkiri, ada cerita nyata di masyarakat, bagaimana seorang yang telah berhaji, mewajibkan orang lain untuk memanggilkan dengan sebutan bapak haji atau ibu hajjah, tentu, jika hal ini sampai terjadi, adalah sebuah kecelakaan dalam hidup seorang muslim. Artinya, apa yang telah dikorbankannya untuk menunaikan ibadah haji, berupa waktu, materi dan fisik, adalah sebuah kesiasiaan belaka !
Entah, mengapa umat Islam Indonesia sangat senang menambah huruf H/Hj di depan nama, jika sudah berhaji, begitu pula, entah mengapa disebut pak haji atau bu hajjah, padahal, umat Islam lainnya tidak disebut pak zakat atau ibu zakat jika sudah membayar zakat, padahal, nilai ibadah sholat, puasa, zakat dan haji adalah sama disisi Allah SWT. Apalagi, Nabi SAW dan sahabt beliau, tidak pernah dipanggil dengan sebutan haji atau hajjah. Bahkan umat Islam di Arab Saudi saat ini pun, tidak mengenal sebutan pak haji atau bu hajjah jika sudah berhaji.
Jadi sangat jelas, jika ibadah haji dikaitkan dengan prestise hidup, adalah bukan ajaran Islam, itu lebih sebagai tradisi dan cara pandang masyarakat Indonesia. Sangat salah, jika image buruk tentang ibadah haji dikaitkan dengan prestise hidup, lantas distigmakan kepada agama Islam.
Juga perlu digarisbawahi tebal bagi masyarakat Islam Indonesia, bahwa ibadah haji wajib bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam ekonomi. Artinya, menunaikan ibadah haji harus dilaksanakan setelah seorang Muslim menunaikan kewajiban lainnya. Termasuk kewajiban mensejahterakan keluarga secara ekonomi dan pendidikan. Bukankah Allah SWT dalam Qur'an mengingatkan umat Islam, jangan sampai mewariskan anak cucu kemiskinan ?
Karena, ada cerita di masyarakat, bagaimana perjuangan seorang Muslim untuk berhaji, menjual harta benda berharga semisal tanah, sementara disisi lain pendidikan anaknya kurang diperhatikan. Padahal menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap Muslim tanpa terkecuali, sementara ibadah haji adalah wajib dengan syarat tertentu. Jadi, yang utama tentu saja, bagaimana seorang Muslim mengedepankan kesejahteraan keluarganya secara wajar normal ( bukan dalam artian misalnya harus memiliki mobil ! ), setelah hal tersebut dapat dilakukan, dan ternyata masih memiliki kelebihan ekonomi, disanalah ibadah haji menjadi sebuah kewajiban !
Bagaimana dengan berhaji lebih sekali ? Perlu diingat, Nabi SAW hanya menunaikan ibadah haji sekali dalam seumur hidup ! padahal rumah beliau ada persis disebelah mesjid Nabawi di kota Madinah al-Mukaromah ! Jadi, ibadah haji cukup sekali seumur hidup. Melihat kondisi rakyat Indonesia yang masih memprihatinkan, sangat jelas dan tidak diragukan lagi, menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya adalah perbuatan mubazir, dan tidak memiliki nilai ibadah. Bukankah Nabi SAW pernah bersabda, dengan wajah merah dan suara keras, "Kalian sungguh tidak beriman, sungguh tidak beriman, sungguh tidak beriman, jika kalian bisa makan kenyang dan tidur nyennyak, padahal tetangga kalian kurang makan dan kedinginan."
Jadi, sulit dibayangkan, bagaimana mungkin seorang Muslim melaksanakan ibadah haji untuk kali kedua dengan biaya mencapai 3 juta rupiah, sementara saat bersamaan masih banyak rakyat Indonesia yang kurang pangan, belum memiliki rumah, menganggur, tidak dapat berobat, dan putus sekolah. Menginfakan harta benda untuk kesejahteraan masyarakat sekitar kita, jelas bernilai ibadah dibanding menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya ! Bahkan, berdasarkan ajaran Islam, Allah SWT akan memberikan pahala besar bagi Muslim yang tidak dapat menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kalinya karena uangnya digunakan untuk infak kesejahteraan masyarakat, misalnya bersodaqoh kepada umat yang dhu'afa ( miskin ).
Berbeda dengan ibadah sholat, puasa dan zakat, maka ibadah haji menuntut kemampuan bagi pelakunya baik fisik maupun ekonomi. Ibadah haji, wajib bagi umat Islam, bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menjalankan, Qur'an menegaskan hal tersebut, bahwa ibadah haji, wajib bagi mereka yang sanggup melakukannya. Diperlukan kekuatan fisik dan kemampuan ekonomi untuk menjalankan ibadah haji.
Ada sisi menarik yang perlu dicermati perihal ibadah haji yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Bahkan, perlu ada koreksi untuk mengubah paradigma umat Muslim tenang ibadah haji.
Ibadah haji, sebagimana ibadah lainnya, selain menuntut kesiapan fisik, juga kesiapan rohani. Sebagimana ibadah lainnya, Islam menuntut umatnya dalam melakukan ibadah didasarkan oleh keikhlasan hati. Sebab, sebagaimana pesan Nabi SAW, "sifat riya ( pamer hati ) dalam beribadah, bagikan api yang membakar kayu bakar kering". Sementara yang terjadi di Indonesia, sudah menjadi rahasia, jika ibadah haji juga berdimensi sebagai sebuah prestise ( kebanggan ) hidup. Tentu, tidak semua umat Islam seperti demikian. Tetapi, tidak dipungkiri, banyak cerita di masyarakat, bagaimana seorang Muslim yang telah menunaikan ibadah haji, kerap menambah huruf H atau Hj didepan namanya. Walau hal ini, belum tentu memiliki kaitan dengan sifat riya, tetapi tentu menjadi sebuah pertanyaan. Apalagi, tidak dipungkiri, ada cerita nyata di masyarakat, bagaimana seorang yang telah berhaji, mewajibkan orang lain untuk memanggilkan dengan sebutan bapak haji atau ibu hajjah, tentu, jika hal ini sampai terjadi, adalah sebuah kecelakaan dalam hidup seorang muslim. Artinya, apa yang telah dikorbankannya untuk menunaikan ibadah haji, berupa waktu, materi dan fisik, adalah sebuah kesiasiaan belaka !
Entah, mengapa umat Islam Indonesia sangat senang menambah huruf H/Hj di depan nama, jika sudah berhaji, begitu pula, entah mengapa disebut pak haji atau bu hajjah, padahal, umat Islam lainnya tidak disebut pak zakat atau ibu zakat jika sudah membayar zakat, padahal, nilai ibadah sholat, puasa, zakat dan haji adalah sama disisi Allah SWT. Apalagi, Nabi SAW dan sahabt beliau, tidak pernah dipanggil dengan sebutan haji atau hajjah. Bahkan umat Islam di Arab Saudi saat ini pun, tidak mengenal sebutan pak haji atau bu hajjah jika sudah berhaji.
Jadi sangat jelas, jika ibadah haji dikaitkan dengan prestise hidup, adalah bukan ajaran Islam, itu lebih sebagai tradisi dan cara pandang masyarakat Indonesia. Sangat salah, jika image buruk tentang ibadah haji dikaitkan dengan prestise hidup, lantas distigmakan kepada agama Islam.
Juga perlu digarisbawahi tebal bagi masyarakat Islam Indonesia, bahwa ibadah haji wajib bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam ekonomi. Artinya, menunaikan ibadah haji harus dilaksanakan setelah seorang Muslim menunaikan kewajiban lainnya. Termasuk kewajiban mensejahterakan keluarga secara ekonomi dan pendidikan. Bukankah Allah SWT dalam Qur'an mengingatkan umat Islam, jangan sampai mewariskan anak cucu kemiskinan ?
Karena, ada cerita di masyarakat, bagaimana perjuangan seorang Muslim untuk berhaji, menjual harta benda berharga semisal tanah, sementara disisi lain pendidikan anaknya kurang diperhatikan. Padahal menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap Muslim tanpa terkecuali, sementara ibadah haji adalah wajib dengan syarat tertentu. Jadi, yang utama tentu saja, bagaimana seorang Muslim mengedepankan kesejahteraan keluarganya secara wajar normal ( bukan dalam artian misalnya harus memiliki mobil ! ), setelah hal tersebut dapat dilakukan, dan ternyata masih memiliki kelebihan ekonomi, disanalah ibadah haji menjadi sebuah kewajiban !
Bagaimana dengan berhaji lebih sekali ? Perlu diingat, Nabi SAW hanya menunaikan ibadah haji sekali dalam seumur hidup ! padahal rumah beliau ada persis disebelah mesjid Nabawi di kota Madinah al-Mukaromah ! Jadi, ibadah haji cukup sekali seumur hidup. Melihat kondisi rakyat Indonesia yang masih memprihatinkan, sangat jelas dan tidak diragukan lagi, menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya adalah perbuatan mubazir, dan tidak memiliki nilai ibadah. Bukankah Nabi SAW pernah bersabda, dengan wajah merah dan suara keras, "Kalian sungguh tidak beriman, sungguh tidak beriman, sungguh tidak beriman, jika kalian bisa makan kenyang dan tidur nyennyak, padahal tetangga kalian kurang makan dan kedinginan."
Jadi, sulit dibayangkan, bagaimana mungkin seorang Muslim melaksanakan ibadah haji untuk kali kedua dengan biaya mencapai 3 juta rupiah, sementara saat bersamaan masih banyak rakyat Indonesia yang kurang pangan, belum memiliki rumah, menganggur, tidak dapat berobat, dan putus sekolah. Menginfakan harta benda untuk kesejahteraan masyarakat sekitar kita, jelas bernilai ibadah dibanding menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya ! Bahkan, berdasarkan ajaran Islam, Allah SWT akan memberikan pahala besar bagi Muslim yang tidak dapat menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kalinya karena uangnya digunakan untuk infak kesejahteraan masyarakat, misalnya bersodaqoh kepada umat yang dhu'afa ( miskin ).
REFERENSI :
http://www.forumbebas.com/thread-14436.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar