MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN
NURULITA
INDRIANI
28211221
3EB10
KBRN,
Jakarta: Indonesia akan menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Persaingan pasar global antar negara Asia Tenggara akan kompetitif. Lalu
sejauhmana kesiapan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Indonesia?.
Corporate
Secretary di UKM Center FEUI Ayu Gunantari, dalam perbincangan bersama Pro 3
RRI, mengatakan UKM di Indonesia harus berbenah dan dipersiapkan karena umumnya
UKM di Indonesia masih mikro.
“Untuk
persaingan global, kita harus meningkatkan produksi dan pemasaran. Di Mikro
biasanya masih berfokus bagaimana bertahan namun untuk pengembangan usaha belum
banyak berfikir,” kata Ayu Gunantari, Jumat (20/9/2013).
Kendala
lain UKM di Indonesia adalah tidak memiliki strategi bisnis yang jelas. Laporan
keuangan yang tidak tertib dan belum disiplin dalam berbisnis. Oleh sebab
itu, dia bersama rekannya di UKM Center terus melakukan advokasi dan pelatihan
untuk pengusaha UKM Indonesia sehingga bisa bersaing di pasar global.
“Kita
punya pelatihan, bekerjasama dengan pemerintah, LSM dan dunia usaha agar pelaku
usaha mikro bisa ditingkatkan baik di pasar da kompetensi pribadi”.
Sebelumnya,
Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam Hari Ulang Tahun (HUT) ke-33 Dewan
Kerajinan Nasional (Dekranas) kemarin mengatakan kunci utama agar dapat bersaing
di pasar global adalah meningkatkan daya saing dengan meningkatkan inovasi, dan
kreativitas.
"Dalam
upaya tersebut, meningkatkan inovasi, kreativitas dan produktivitas menjadi
sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan," kata Ani Yudhoyono.
Ayu
Gunantari menambahkan untuk permodalan, saat ini akses sangat mudah. Pemerintah
memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk permodalan seperti Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan atau
PNPM-Perdesaan atau Rural PNPM), dan perbankan pun memberikan syarat yang mudah
untuk mendapatkan modal.
“Kita
tidak hanya ingin menjadi pasar. Akses modal, kualitas produk dan jasa itu yang
kita perkenalkan,” jelasnya. (Sgd/AKS)
BI: Masyarakat Ekonomi ASEAN Tantangan Indonesia
Banyuwangi (Antara Jatim) - Kepala
Divisi Proyeksi Ekonomi dan Skenario Kebijakan Departemen Kebijakan Ekonomi
Makro Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Wilayah IV Jawa Timur, Arief
Mahmud, meyakini, segera direalisasinya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada
2015 merupakan tantangan bagi Indonesia.
"Penyebabnya, pada dua tahun mendatang kian banyak hambatan dan pengurangan biaya menyusul masuknya sumber daya manusia (SDM) dari negara anggota ASEAN," katanya, ditemui pada Pelatihan Wartawan Ekonomi 2013 se-Jatim, di Banyuwangi, Sabtu.
Untuk mengantisipasi belum siapnya Indonesia terhadap MEA, ungkap dia, Indonesia memerlukan deregulasi birokrasi dan perizinan yang berujung pada peningkatan daya saing SDM nasional.
"Selain di sektor keuangan, perlu kebijakan sektor riil termasuk perbaikan infrastruktur," ujarnya.
Berbagai langkah tersebut, jelas dia, mampu menjadikan Indonesia tidak lagi sebagai pasar. Akan tetapi, negeri ini mampu memasarkan berbagai produknya ke seluruh negara anggota ASEAN.
"Mengenai nilai tukar rupiah, kami harap mata uang Indonesia tidak terdepresiasi, sehingga negeri ini tak tergantung pada barang primer dan cadangan devisa bisa surplus," katanya.
Dengan demikian, kata dia, ke depan masyarakat Indonesia selalu bangga dengan memiliki mata uang rupiah. Kondisi itu sekaligus mampu membawa Indonesia khususnya dari sisi ekonomi negeri bisa bersaing dengan negara lain.
"Terkait transaksi luar negeri, idealnya diantisipasi dengan gerakan bangga terhadap rupiah melalui kegiatan yang mengapresiasi mata uang tersebut," katanya.
Mengenai upaya BI yang dinilai terlambat dalam mengantisipasi krisis ekonomi, tambah dia, hal tersebut juga dialami oleh perekonomian sejumlah negara. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh pemerintah terutama Bank Indonesia sudah menjadi langkah antisipasif.
"Sebelum ada dampak, BI perlu melaksanakan sesuatu. Misal dengan menaikkan BI Rate sehingga suku bunga meningkat," katanya.
Melalui kenaikan BI Rate, prediksi dia, pengaruhnya bisa terjadi selama satu setengah tahun. Salah satunya terhadap perkembangan sektor riil di Tanah Air. Di sisi lain, melalui adanya perjanjian BI dengan sejumlah bank sentral asing, optimistis dia, dapat mengantisipasi jika pada masa mendatang cadangan devisa Indonesia kian menurun.
"Apabila cadangan devisa meningkat, dana investor yang masuk semakin besar. Dengan cara itu, Indonesia bisa tahan krisis ekonomi," katanya.
"Penyebabnya, pada dua tahun mendatang kian banyak hambatan dan pengurangan biaya menyusul masuknya sumber daya manusia (SDM) dari negara anggota ASEAN," katanya, ditemui pada Pelatihan Wartawan Ekonomi 2013 se-Jatim, di Banyuwangi, Sabtu.
Untuk mengantisipasi belum siapnya Indonesia terhadap MEA, ungkap dia, Indonesia memerlukan deregulasi birokrasi dan perizinan yang berujung pada peningkatan daya saing SDM nasional.
"Selain di sektor keuangan, perlu kebijakan sektor riil termasuk perbaikan infrastruktur," ujarnya.
Berbagai langkah tersebut, jelas dia, mampu menjadikan Indonesia tidak lagi sebagai pasar. Akan tetapi, negeri ini mampu memasarkan berbagai produknya ke seluruh negara anggota ASEAN.
"Mengenai nilai tukar rupiah, kami harap mata uang Indonesia tidak terdepresiasi, sehingga negeri ini tak tergantung pada barang primer dan cadangan devisa bisa surplus," katanya.
Dengan demikian, kata dia, ke depan masyarakat Indonesia selalu bangga dengan memiliki mata uang rupiah. Kondisi itu sekaligus mampu membawa Indonesia khususnya dari sisi ekonomi negeri bisa bersaing dengan negara lain.
"Terkait transaksi luar negeri, idealnya diantisipasi dengan gerakan bangga terhadap rupiah melalui kegiatan yang mengapresiasi mata uang tersebut," katanya.
Mengenai upaya BI yang dinilai terlambat dalam mengantisipasi krisis ekonomi, tambah dia, hal tersebut juga dialami oleh perekonomian sejumlah negara. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh pemerintah terutama Bank Indonesia sudah menjadi langkah antisipasif.
"Sebelum ada dampak, BI perlu melaksanakan sesuatu. Misal dengan menaikkan BI Rate sehingga suku bunga meningkat," katanya.
Melalui kenaikan BI Rate, prediksi dia, pengaruhnya bisa terjadi selama satu setengah tahun. Salah satunya terhadap perkembangan sektor riil di Tanah Air. Di sisi lain, melalui adanya perjanjian BI dengan sejumlah bank sentral asing, optimistis dia, dapat mengantisipasi jika pada masa mendatang cadangan devisa Indonesia kian menurun.
"Apabila cadangan devisa meningkat, dana investor yang masuk semakin besar. Dengan cara itu, Indonesia bisa tahan krisis ekonomi," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar